Freitag, 11. Mai 2012

Di Ujung Pencarian Jati Diri


Hampir 20 tahun saya berada di bumi ini, diatas suatu dataran penuh dengan lika-liku kehidupan. Awalnya aku merasa bingung dengan diriku, masih sering terombang-ambing angin kehidupan tanpa tujuan pasti. Aku akan menjadi seperti apa? Aku sendiri masih belum tahu.

Aku adalah anak pertama dari 4 bersaudara, tapi yang anehnya aku kok masih saja belum bisa bersikap dewasa diumurku yang ke-17. Aku masih manja, masih cepat ngambek apalagi yang terparah masih belum bisa mengontrol emosi. Jika aku sedang marah, maka orang-orang yang disekitarku akan jadi sasaran. Keluarga selalu mengingatkanku agar aku bisa lebih bersikap dewasa lagi, melihat umurku yang tak lagi anak-anak. Mungkin lebih tepatnya aku merasa ga betah di rumah. Itu salah satu alasan aku lebih suka beraktifitas diluar rumah, seperti di sekolah, ditempat les atau di rumah teman. Aku orangnya dulu sangat tertutup kepada keluargaku, aku hanya bicara saat memang penting, seperti masalah keuangan, dan selebihnya aku diam. Aku lebih suka menulis diary atau bercerita pada sahabatku. Yang aku tahu, aku lebih percaya kepada sahabatku, yah mungkin bisa dibilang orang tuaku agak kolot. Mereka yang sering mempercayai omongan tetangga-tetangga saat aku pulang larut, padahal mereka tahu kalau aku ada les dan banyak tugas sekolah dan terpaksa membuatku mesti duduk diwarnet berjam-jam. Dan itu salah satu alasanku, aku menjadi anak yang tertutup di rumah. Cekcok dirumah, itu sudah biasa bagiku, perbedaan pendapat tak lagi asing bagiku, tapi mungkin lebih tepatnya pemaksaan kehendak. Mereka suka mengatur tentang hobbyku, mulai dari aku yang suka main futsal, ikut eskul karate sampai naik motor ngebut. Tapi bukan linda kalau dilarang lalu cepat menyerah. Aku memiliki alasan kuat untuk mempertahankan apa yang harus aku pertahankan, seperti yah ke jerman. Aku selalu berpikir, selama masih dalam hal positif kenapa sih harus dilarang.

„Linda, kamu itu cewek.“ Yah aku sadar aku memang ditakdirkan terlahir jadi seorang wanita, tapi dari aku masih kecil, aku memang memiliki hobby seperti laki-laki, aku lebih suka membeli mainan seperti robot-robotan dari pada boneka barbie, aku lebih suka mancing dan main layangan dari pada main rumah-rumahan, aku lebih suka manjat pohon dan memakai celana dari pada memakai rok, tapi keluargaku kolot, mereka selalu memarahiku ketika mereka tahu aku melakukan itu semua. Dan kini sampai aku berumur 17 tahun, aku suka main bola, aku suka ngebut saat naik motor, aku suka karate dari pada menari.

Bukankah seseorang berhak mencari jati dirinya masing-masing? Aku melakukan segala hal yang membuat hatiku senang dan selama menurutku itu positif kenapa mesti ada larangan? Karena aku cewek? Buktinya sekarang saat aku dewasa, semuanya tidak berubah, aku perempuan. Akupun sekarang suka memakai rok, walau dulu aku tidak suka. Aku suka menari-nari dikamar walau sampai sekarang aku masih suka main bola. Dan jati diri seseorang itu terbentuk dari pengalaman yang ada, dari kejadian-kejadian, kesalahan-kesalahan dan masalah-masalah yang datang. Aku memang berwatak keras, itu penilaian mamahku. Dan papahku juga berwatak keras. Jika papah memerintah atau melarang sesuatu, maka aku harus patuh, tapi sesekali aku akan kekeh pada keputusan dan pilihanku, sampai akhirnya mereka yang mengalah, saat mereka sadar bisa jadi itu memang terbaik untukku.

Jujur teman, aku merasa berbeda saat aku tak lagi hidup dengan keluargaku. Aku memang bebas melakukan apa saja, tapi puji syukur kepada Allah, Allah slalu menjagaku. Jadi walau tak ada lagi yang mengaturku, memarahiku, alhamdulillah masih bisa membatasi pergaulanku dan tingkah lakuku. Malah aku menemukan diriku, jati diri yang selama ini aku cari yaitu aku dengan diriku seperti ini. Aku banyak belajar dari apa yang terjadi, dulu slalu ada mereka yang menjagaku dan membatasi gerakku. Tapi kini aku terjun langsung dalam pembelajaran dan resiko yang harus ditanggung ketika aku salah melangkah. Dulu saat aku salah, mereka yang ikut menanggung semuanya, karena aku masih anak2 dan dekat dengan mereka. Tapi kini, aku harus menanggung resikonya sendiri, maka dari itu aku mampu belajar kehidupan lebih baik lagi dan aku menemukan aturan-aturan yang terbentuk dengan sendirinya dalam hidupku, seperti batasan-batasan pergaulan (aku yang memang orangnya suka pilih-pilih teman), batasan-batasan sikap (tidak terjerumus dalam dunia kelam, Naudzubillah jangan sampai) dan hal lainnya.

Ternyata seseorang akan lebih cepat menemukan jati dirinya saat mereka hidup dan belajar dari kehidupan itu sendiri, walau sebenarnya orang tua kita masih tetep mengawasi kita tapi mereka memberikan kepercayaan lebih saat kita sudah memutuskan tidak tinggal bersama mereka lagi. Tapi bukan berarti mereka lepas tangan, merekapun akan ikut menanggung malu dan akibat yang sama saat kita terlanjur terjerumus dalam dunia yang kelam, mereka akan jadi orang pertama yang membelamu mati-matian saat kamu dalam kesulitan. Maka dari itu, jangan mengecewakan kepercayaan yang telah mereka berikan kepada kita, seperti apa dirimu, hanya kamu sendiri yang menentukan. Tapi satu hal yang aku tahu, kita semua sama. Kita manusia dihadiahi hati dan pikiran, tentang apakah kita akan terbentuk menjadi diri yang baik atau tidak, itu bergantung bagaimana cara kita mengontrol hati dan pikiran kita.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen