Samstag, 28. April 2012

Senyum Penguat Langkahku



Aku ingin berbagi kisahku kepada kalian. Panggil saja aku Komah (berharap aku slalu bisa istiqomah dijalan dan dalam pelukan cinta Rabbku). Usiaku hampir menginjak ke 20 dan sudah hampir dua tahun ini aku telah hidup sendiri terpisah oleh jarak ribuan kilometer didataran Eropa. Aku berasal bukan dari keluarga yang berada, tapi aku malah sangat bersyukur karena aku terlahir dari keluarga yang setiap harinya terus mengais rizki hanya untuk sesuap nasi dihari itu dan esok pun kami harus kembali mengais rizki. Aku sendiri buka siswi yang pandai, kinerja otakku terlalu pas-pasan bahkan IQ ku tidak mencapai angka 100. Aku mampu menginjakkan kaki didataran Eropa mungkin karena keberuntungan atau tidak, tapi lebih tepatnya karena Allah mendengar doaku dan melihat kerja kerasku untuk hal ini. Mimpiku sendiri adalah untuk keliling dunia, tapi aku sadari mungkin belum saatnya mimpiku terwujud.

Pagi ini aku pergi ke Bank untuk mengecek tabunganku, bismillah. Alhamdulillah Ya Rabb saat aku melihat nominal yang tertulis disana, aku masih mampu tersenyum penuh syukur, hatiku masih Engkau lapangkan. Bukan, bukan karena nominal yang besar yang tertera, nominalnya sangat kecil bahkan lebih kecil dari gaji seorang guru selama sebulan bekerja dan bisa dibayangkan nominal segitu  untuk biaya kehidupan di Eropa. Tapi cinta dan kasih sayang Allah yang membuatku merasa kaya. Setiap kali aku mengecek tabunganku, kembali aku mengingat senyum-senyum indah penuh ketulusan dan kebahagiaan dari mereka yaitu keluargaku, teman-teman yang turut serta menikmati hasil keringatku dan senyum mereka yang hanya aku kenal lewat angan-anganku yang turut merasakan setiap puing uang receh yang terlahir dari setiap tetes keringat yang aku keluarkan selama bekerja sembari menuntut ilmu. Aku masih selalu bisa tersenyum padahal pernah saldo direkeningku 0. Saat itu yang aku tahu, Allah Maha Kaya. Semut yang sangat kecilpun tak terlewatkan dari rahmat-Nya yang setiap detik Allah bagi-bagikan dan curahkan bagi semua ciptaannya. Apalagi aku yang slalu diiringi oleh desiran doa-doa dari senyum-senyum manis itu. Tidak, aku tak ragu. Aku percayakan semuanya pada Allah. Oleh karenanya aku bersyukur terlahir dari keluarga biasa saja, karena dengan itu aku mampu belajar mengerti keadaan dan kesulitan sekitar. Jika kita berpikir untuk merasa kurang, maka sesungguhnya nafsu manusia itu slalu merasa kurang dengan apa yang telah dimilikinya. Jangankan saya yang hampir menghabiskan masa remaja disini selama 2 tahun terakhir yang melihat nominal kecil ditabungan saya, tapi mereka saja para pejabat tinggi negara, para pengusaha yang uang direkening-rekening mereka mencapai milyaran bahkan triliunan masih saja merasa kurang. Jadi sebenarnya bukan benda yang membuat kita merasa kaya tapi hati kita sendiri.

Aku mulai mengenal dan mengerti kesulitan sesama saat aku masih duduk di Sekolah Dasar. Saat itu setiap harinya aku hanya dikasih uang saku Rp. 200,00 sehari, tidak lebih bahkan seringnya dikurangi. Makan sehari-haripun hanya nasi dengan tahu, atau hanya tempe, bahkan tak jarang hanya dengan garam. Tapi dengan penuh syukur aku mampu melahap dengan nikmatnya. Siang itu saat bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar gedung, aku masih sibuk membereskan barang-barangku dikelas, hingga saat aku keluar kelas, sekolah telah sepi. Tapi ketika aku melangkah keluar gerbang sekolah, ternyata ada pak tua hanya dengan satu kaki, bersedih, mengatakan belum makan sejak pagi tadi. Aku rogoh tasku, alhamdulillah ada uang Rp. 500,00. “Bapa maaf, saya hanya punya segini tapi bapa bisa membeli roti untuk sekedar mengganjal perut“. Saat itu hatiku senang bukan main melihat senyum yang tergurat diwajah bapa itu, aneh. Awalnya aku merasa aneh dengan perasaan bahagia ini, padahal kalau dipikir secara logika, aku malah kehilangan uangku, tapi aku malah merasa bahagia. Sangat bahagia, seharian itu aku sangat semangat membantu ibu, seolah ada kekuatan lain yang membuat hatiku sangat lega. Dan sejak saat itu, aku sering memberikan hampir seutuhnya uang yang aku punya jika aku bertemu pengemis. Ada yang pernah bertanya padaku seperti ini, “Komah, kamu ga lapar kalau nanti kamu berikan seluruh uang sakumu untuk pengemis tadi? Kamu kan jadi ga bisa beli makanan“.

Saat itu aku menjawab sembari tersenyum bahagia, “Kalaupun aku menahan lapar sampai pulang sekolah nanti aku masih bisa ko, aku ga bakal kelaparan, karena aku tahu saat aku sampai dirumah nanti ibu sudah masak untukku dan aku bisa makan sebanyak yang aku mau, tapi apa kamu yakin saat pengemis tadi merasa lapar, dia bisa mengganjal perutnya walau hanya sesuap nasi dan menghilangkan dahaganya walau hanya dengan seteguk air“. Dan kejadian-kejadian itu yang membentukku seperti ini.

Kadang orang tuaku selalu mengingatkan agar aku rajin menabung untuk kehidupanku dimasa yang akan datang, tapi mereka sendiri terkadang dalam kesusahan dan tak ingin aku tahu. Aku tak terbisa mamah, papah. Saat aku mengetahui disekitarku dalam kesulitan lalu aku enak-enakan hidup bermegah-megahan sendiri menutup mata, telinga dan hatiku. Aku kembali berpikir pada waktu. Hidupku berkejaran dengan waktu. Aku hanya memiliki waktu yang begitu singkat, sangat singkat lebih tepatnya. Andai aku membiarkan hasil jerih payahku terus terkumpul tanpa memperdulikan sekitarku, jika ternyata satu detik yang akan datang Allah memanggilku, lalu apa yang harus aku katakan? Lalu apa arti semua jerih payahku sedangkan mereka tak mampu mebelaku saat aku sendiri dalam kegelapan alam kubur? Lalu apa arti setiap tetes keringatku sedangkan mereka sendiri malah menyalahkanku karena aku tak mengamalkannya pada kebaikan? Bukan, aku tak menyesal dengan adanya hatiku. Ini cara Allah mengajariku, membentuk kepribadianku. Allah titipkah sebongkah benda kecil dalam tubuhku yang begitu lemah dan mudah merasakan kesulitan orang lain yaitu sebuah hati. Hati ini yang mengatur seluruh jalannya hidupku, tanpa hati atau dengan hati tapi yang membatu, aku tak ubahnya hanya mayat yang hidup, berjalan tak memiliki tujuan akhir untuk peristirahatan. Itu wajar jika orang-orang yang menyayangiku ingin berkorban untukku, menutupi masalah-masalahnya dariku, tapi aku merasa, untuk apa aku terlahir jika aku tak mampu berbagi. Nggak, aku tak pernah merasa kalian merepotkanku, tapi ini adalah kebahagiaan untukku, membuat kalian tersenyum, dan saat kembali aku lihat nominal kecil ditabunganku, aku masih mampu tetap tersenyum lega, karena cinta Allah selalu setia memeluk erat tubuhku.

Keine Kommentare:

Kommentar veröffentlichen