Aku ingin berbagi kisahku kepada
kalian. Panggil saja aku Komah (berharap aku slalu bisa istiqomah dijalan dan
dalam pelukan cinta Rabbku). Usiaku hampir menginjak ke 20 dan sudah hampir dua
tahun ini aku telah hidup sendiri terpisah oleh jarak ribuan kilometer
didataran Eropa. Aku berasal bukan dari keluarga yang berada, tapi aku malah
sangat bersyukur karena aku terlahir dari keluarga yang setiap harinya terus
mengais rizki hanya untuk sesuap nasi dihari itu dan esok pun kami harus
kembali mengais rizki. Aku sendiri buka siswi yang pandai, kinerja otakku
terlalu pas-pasan bahkan IQ ku tidak mencapai angka 100. Aku mampu menginjakkan
kaki didataran Eropa mungkin karena keberuntungan atau tidak, tapi lebih
tepatnya karena Allah mendengar doaku dan melihat kerja kerasku untuk hal ini.
Mimpiku sendiri adalah untuk keliling dunia, tapi aku sadari mungkin belum
saatnya mimpiku terwujud.
Pagi ini aku pergi ke Bank untuk
mengecek tabunganku, bismillah. Alhamdulillah Ya Rabb saat aku melihat nominal
yang tertulis disana, aku masih mampu tersenyum penuh syukur, hatiku masih Engkau
lapangkan. Bukan, bukan karena nominal yang besar yang tertera, nominalnya
sangat kecil bahkan lebih kecil dari gaji seorang guru selama sebulan bekerja
dan bisa dibayangkan nominal segitu
untuk biaya kehidupan di Eropa. Tapi cinta dan kasih sayang Allah yang membuatku merasa kaya. Setiap
kali aku mengecek tabunganku, kembali aku mengingat senyum-senyum indah penuh
ketulusan dan kebahagiaan dari mereka yaitu keluargaku, teman-teman yang turut
serta menikmati hasil keringatku dan senyum mereka yang hanya aku kenal lewat
angan-anganku yang turut merasakan setiap puing uang receh yang terlahir dari
setiap tetes keringat yang aku keluarkan selama bekerja sembari menuntut ilmu.
Aku masih selalu bisa tersenyum padahal pernah saldo direkeningku 0. Saat itu
yang aku tahu, Allah Maha Kaya. Semut yang sangat kecilpun tak terlewatkan dari
rahmat-Nya yang setiap detik Allah bagi-bagikan dan curahkan bagi semua
ciptaannya. Apalagi aku yang slalu diiringi oleh desiran doa-doa dari
senyum-senyum manis itu. Tidak, aku tak ragu. Aku percayakan semuanya pada
Allah. Oleh karenanya aku bersyukur terlahir dari keluarga biasa saja, karena
dengan itu aku mampu belajar mengerti keadaan dan kesulitan sekitar. Jika kita
berpikir untuk merasa kurang, maka sesungguhnya nafsu manusia itu slalu merasa
kurang dengan apa yang telah dimilikinya. Jangankan saya yang hampir
menghabiskan masa remaja disini selama 2 tahun terakhir yang melihat nominal
kecil ditabungan saya, tapi mereka saja para pejabat tinggi negara, para
pengusaha yang uang direkening-rekening mereka mencapai milyaran bahkan
triliunan masih saja merasa kurang. Jadi sebenarnya bukan benda yang membuat
kita merasa kaya tapi hati kita sendiri.
Aku mulai mengenal dan mengerti
kesulitan sesama saat aku masih duduk di Sekolah Dasar. Saat itu setiap harinya
aku hanya dikasih uang saku Rp. 200,00 sehari, tidak lebih bahkan seringnya
dikurangi. Makan sehari-haripun hanya nasi dengan tahu, atau hanya tempe,
bahkan tak jarang hanya dengan garam. Tapi dengan penuh syukur aku mampu
melahap dengan nikmatnya. Siang itu saat bel pulang sekolah berbunyi, semua
siswa berhamburan keluar gedung, aku masih sibuk membereskan barang-barangku
dikelas, hingga saat aku keluar kelas, sekolah telah sepi. Tapi ketika aku
melangkah keluar gerbang sekolah, ternyata ada pak tua hanya dengan satu kaki,
bersedih, mengatakan belum makan sejak pagi tadi. Aku rogoh tasku,
alhamdulillah ada uang Rp. 500,00. “Bapa maaf, saya hanya punya segini tapi
bapa bisa membeli roti untuk sekedar mengganjal perut“. Saat itu hatiku senang
bukan main melihat senyum yang tergurat diwajah bapa itu, aneh. Awalnya aku
merasa aneh dengan perasaan bahagia ini, padahal kalau dipikir secara logika,
aku malah kehilangan uangku, tapi aku malah merasa bahagia. Sangat bahagia,
seharian itu aku sangat semangat membantu ibu, seolah ada kekuatan lain yang
membuat hatiku sangat lega. Dan sejak saat itu, aku sering memberikan hampir
seutuhnya uang yang aku punya jika aku bertemu pengemis. Ada yang pernah
bertanya padaku seperti ini, “Komah, kamu ga lapar kalau nanti kamu berikan
seluruh uang sakumu untuk pengemis tadi? Kamu kan jadi ga bisa beli makanan“.
Saat itu aku menjawab sembari
tersenyum bahagia, “Kalaupun aku menahan lapar sampai pulang sekolah nanti aku
masih bisa ko, aku ga bakal kelaparan, karena aku tahu saat aku sampai dirumah
nanti ibu sudah masak untukku dan aku bisa makan sebanyak yang aku mau, tapi
apa kamu yakin saat pengemis tadi merasa lapar, dia bisa mengganjal perutnya
walau hanya sesuap nasi dan menghilangkan dahaganya walau hanya dengan seteguk
air“. Dan kejadian-kejadian itu yang membentukku seperti ini.
Kadang orang tuaku selalu
mengingatkan agar aku rajin menabung untuk kehidupanku dimasa yang akan datang,
tapi mereka sendiri terkadang dalam kesusahan dan tak ingin aku tahu. Aku tak
terbisa mamah, papah. Saat aku mengetahui disekitarku dalam kesulitan lalu aku
enak-enakan hidup bermegah-megahan sendiri menutup mata, telinga dan hatiku.
Aku kembali berpikir pada waktu. Hidupku berkejaran dengan waktu. Aku hanya
memiliki waktu yang begitu singkat, sangat singkat lebih tepatnya. Andai aku
membiarkan hasil jerih payahku terus terkumpul tanpa memperdulikan sekitarku,
jika ternyata satu detik yang akan datang Allah memanggilku, lalu apa yang
harus aku katakan? Lalu apa arti semua jerih payahku sedangkan mereka tak mampu
mebelaku saat aku sendiri dalam kegelapan alam kubur? Lalu apa arti setiap
tetes keringatku sedangkan mereka sendiri malah menyalahkanku karena aku tak
mengamalkannya pada kebaikan? Bukan, aku tak menyesal dengan adanya hatiku. Ini
cara Allah mengajariku, membentuk kepribadianku. Allah titipkah sebongkah benda
kecil dalam tubuhku yang begitu lemah dan mudah merasakan kesulitan orang lain
yaitu sebuah hati. Hati ini yang mengatur seluruh jalannya hidupku, tanpa hati
atau dengan hati tapi yang membatu, aku tak ubahnya hanya mayat yang hidup,
berjalan tak memiliki tujuan akhir untuk peristirahatan. Itu wajar jika
orang-orang yang menyayangiku ingin berkorban untukku, menutupi masalah-masalahnya
dariku, tapi aku merasa, untuk apa aku terlahir jika aku tak mampu berbagi. Nggak,
aku tak pernah merasa kalian merepotkanku, tapi ini adalah kebahagiaan untukku,
membuat kalian tersenyum, dan saat kembali aku lihat nominal kecil ditabunganku,
aku masih mampu tetap tersenyum lega, karena cinta Allah selalu setia memeluk
erat tubuhku.
Keine Kommentare:
Kommentar veröffentlichen